Aksara Bea in Wonderland

My Wonderland of Words

This is the other side of me in "aksara" a.k.a "letters" with my own way, my own Wonderland, Aksara Bea

Senin, 27 Mei 2013

Tiga Perempuan, Tiga Cerita, Tiga Cinta

 
Judul Buku : 20, 30, 40 (Club Camilan, #2)
Penulis : Jaqueline Brahms, Rara Pramesti, Cenila Krena
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Genre : Metropop
Rate : 2 of 5 stars




Setiap peristiwa melahirkan sebuah kisah, dan kisah itu bisa menjadi kisah yang bahagia atau berakhir menjadi kisah yang sedih. Namun, terkadang kisah bisa lahir begitu saja tanpa suatu peristiwa. Depends on people and life secret itself. Sederhana saja, coba bayangkan jika Derek Shepherd bisa melupakan perselingkuhan Addison Montgomery lalu tetap tinggal di New York, melanjutkan hidup dan pernikahannya, mengesampingkan Mark, saya rasa dia tidak akan pernah bertemu dengan Meredith Grey di Seattle dan kisah percintaan mereka tidak akan pernah terjadi.*wink* Peristiwa hidup terjadi karena suatu alasan dan kita tidak pernah tahu akhir dari peristiwa itu akan menjadi apa. It will be not a surprise if we know it at first, yet we will avoid it if the ending is not get along with us.

 

Jika boleh memilih, Cenila ingin bahagia bersama kedua anaknya. Ia tidak mau dikhianati dua kali, satu kali oleh suaminya dan satu kali oleh Fero. Dan ia pun tidak mau kembali ke Indonesia, menetap di Moscow seumur hidup. Namun, hidup ini mesti dijalani satu per satu bagian, tidak bisa dilompati begitu saja, melompati bagian yang menyengsarakan dan memilih bagian yang menyenangkan. Cenila harus menjalani drama perceraian dengan suaminya, hidup dengan Fero lalu dikhianati olehnya, pulang kembali ke Indonesia dan terlibat dalam kisah cinta dengan perempuan lainnya yang mengakibatkan urusan hidupnya semakin ruwet. Cinta pada dasarnya adalah memaafkan. Pada akhirnya Cenila memutuskan untuk menetap di Moscow, memaafkan masa lalunya dan berdamai dengan hidupnya.

Bahagia itu bisa datang dari masa lalu. Tidak percaya? Tanyakan saja ke Jaqs. Ia lebih suka dipanggil Jaqs ketimbang Jackie, lebih maskulin dan cocok dengan dirinya yang andro. (Tak terbalik?) Itu pilihan dan selera setiap orang berbeda. Begitu pun Jaqs. Ia sudah mencoba untuk merasakan bahagia dari masa depan dengan memilih mendekati  seorang perempuan cantik dan manis yang ternyata membuat hidupnya tidak mudah. Ia menyerah dan memilih kembali dengan masa lalu yang akan membuatnya lebih bahagia. Hidup sudah sulit, jangan semakin dipersulit lagi.

Di tempat lain, Rara juga memilih masa lalu yang bisa membuatnya bahagia dan Eki adalah jawaban atas kegusarannya untuk bahagia selama ini. Namun berbeda dengan Jaqs , Rara harus berusaha keras untuk berdamai dengan masa lalunya demi satu kata bahagia dan dia harus menghadapi semua badai dalam langkah hidupnya yang selanjutnya yang tidak dapat dijalani oleh semua orang. Masa depan yang lebih baik dengan lelaki yang mencintainya tidak mampu membuatnya bertahan pada opini pernikahan dan dia pun meninggalkan lelaki itu demi Eki, perempuan yang pernah terlibat secara tidak langsung dengan masa lalunya yang kelam.




Camilan Sepoci Kopi hadir di depan saya saat kejenuhan akan rutinitas menyerang saya tanpa pandang bulu. Pasien, bangsal, konsulen, paramedic, teman-teman seperjuangan dalam jubah koas dan segala tetek bengek rumah sakit membuat saya jengah. Melalui Camilan Sepoci Kopi dalam Club Camilan yang pertama, saya berkenalan dengan Donna dan Nie. Mereka penulis, sebagai pekerjaan sampingan, dan memiliki sebuah apartemen yang berisi buku. Tidak bisa menebak apa pekerjaan mereka sesungguhnya karena mereka penuh rahasia dan tidak bisa dimengerti. Oleh karena itu, buku pertama mereka saya hanya memberi nilai 2 bintang.  Dari Club Camilan yang pertama ini, saya menelusuri sepak terjang karya tulis mereka melalui blog yang mereka buat dengan nama camilansepocikopi.blogspot.com dan hasilnya terpapar karya tulis mereka yang kedua dengan komposisi penulis yang berbeda. Saya mulai membaca kisah pertama yang ditulis oleh Cenila, perempuan paruh baya yang mulai berusia 40 tahun. Kisah yang ditulis telah masuk pertengahan cerita yakni Cenila memutuskan pergi dari Fero dan kota Moscow dengan membawa kedua orang anaknya kembali ke Indonesia, tepatnya ke kota Padang.

Kisah yang disajikan di blog ditampilkan per bagian tiap harinya dan dikisahkan selang – seling oleh tiga penulis ini sehingga membangkitkan antusias penikmat cerita yang bernuansa lesbian ini. Akhir ceritanya mudah ditebak, happy ending. Dan setelah dibukukan sebagai serial kedua Club Camilan, nuansa ceritanya berubah dan menjadi kurang bagus, walaupun saya cukup menyukai kisah Cenila. Mungkin sebaiknya dibiarkan karyanya tetap di blog tanpa dibukukan atau diramu kembali sesuai dengan konteks novel saat dibukukan agar menjadi menarik dan manis seperti cupcakes. 

Minggu, 24 Juli 2011

Tuliskan Hasil Renungan Dalam Sebuah Buku Saat Sedang Berada di Toilet

Judul Buku : The Diary of Amos Lee - Hasil Renungan Nongkrong di WC
Diterjemahkan dari : The Diary of Amos Lee - I Sit, I Write, I Flush!
Penulis : Adeline Foo
Penerjemah : Tessa Febiani
Ilustrasi dan desain kover : Stephanie Wong
Editor : Fita Riyadi
Penata Letak : Lulu Triardhian Helmy
Penerbit : Buah Hati
Cetakan I : Maret 2011

Nama saya Amos dan marga keluarga saya adalah Lee. Hobi saya menulis diary. Well, sebenarnya bukan hobi yang sesungguhnya. Saya tidak pernah berpikir akan menulis sebuah diary. Ini bermula dari resolusi ibu di Tahun Baru kemarin yang ingin waktu yang ada untuk duduk di atas kloset tiap melakukan kegiatan pembuangan biologis tidak tersia-siakan oleh saya. Dan juga untuk kesehatan saya sendiri. Kutulis saja setiap kegiatan yang bersinggungan denganku dan juga pemikiran-pemikiranku terhadap berbagai hal yang kutemui sepanjang hari. Sayangnya, karena diary ini diletakkan di atas rak dalam toilet, maka ayah dan ibu juga ikut membacanya. Buktinya terlihat ada tulisan tangan mereka yang mengomentari hal-hal yang menurut mereka perlu dikomentari tentang saya. Saya curiga apakah Ah Kong dan Po-Po juga ikut membaca. RPJ tidak mungkin. Tapi, tulisannya yang besar di akhir halaman sempat membuatku merasa … hmm … saya sulit mendeskripsikannya.

Saya masih SD dan saya punya dua orang sahabat. Mereka adalah Anthony dan Alvin. Karena nama kami bertiga diawali dengan huruf ‘A’ maka kami pun dijuluki 3A. Kami punya musuh di sekolah. Ia kakak senior kami. Michael namanya. Hingga suatu hari ada kejadian tak terduga membuat kami pun berdamai dengannya. Apakah kami merasa bersalah atas hal itu? Saya kurang tahu.

Saya tidak punya prestasi akademik yang bisa dibanggakan. Tapi ada pepatah yang mengatakan setiap manusia bisa sukses asal punya usaha untuk kerja keras dan niat mewujudkannya. Saya tidak sadar punya bakat yang lain selain menulis diary hingga impian memiliki ‘gadget’ membuat saya memiliki kemampuan untuk itu.

Tak terasa sudah setahun saya menuliskan diary dan tidak terasa begitu banyak hal-hal yang menyenangkan yang kualami sepanjang tahun ini. Ternyata menuliskan diary itu mengasyikkan. Saya akan melanjutkan menulis lagi. Tapi tidak lagi dalam toilet.
 
Catatan Kecil:
1. Kutempelkan resep kue tar nanas ala Po-Po yang lezat dalam diary ini. >,^
2. Ternyata butuh kerjasama antar 2 negara dalam menerbitkan buku harian saya ini. ^O^

Amos Lee

Minggu, 24 April 2011

1 Perempuan Bertarung Melawan 14 Laki-Laki

Judul Buku      : 1 Perempuan 14 Laki-Laki
Penulis           : Djenar Maesa Ayu
Editor            : Mirna Yulistianti
Setting           : Ryan
Desain Kover  : Shutterstock.com
ISBN               : 9789792266085
Tebal Buku      : 124 halaman
Penerbit         : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun Terbit   : 2011
Harga              : Rp 50.000,00

Pertama kali mulai mengenal sosok penulis perempuan ini saya lakoni melalui majalah Intisari kala saya masih duduk di bangku SMA. Lalu mengenalnya lagi melalui tampilan profil yang dibuat oleh beberapa majalah gaya hidup seiring dengan perjalanan waktu kehidupan. Sosok Djenar bagi saya waktu itu adalah sebuah profil gambaran perempuan yang bebas dan tangguh. Ia tegar dan kuat dalam menghadapi berbagai cercaan yang datang bertubi-tubi mengenai karya-karyanya yang berani, lugas, apa adanya dan vulgar. Belum ada penulis yang seberani dan selugas Djenar yang pada masa itu dalam pandangan pribadi saya berani mengungkapkan tulisannya secara gamblang dan tanpa tendeng aling-aling. “Nayla” adalah buku Djenar pertama yang saya baca karena menyajikan hal yang berbeda dari semua cerita fiksi yang sedang tren di masa itu. Tak sampai separuh saya baca, saya letakkan lagi "Nayla" dalam rak buku pribadi saya, membiarkannya berdiri tegak dan berjejeran bersama yang lainnya, menunggu waktu berikutnya yang lebih tepat untuk dibaca kembali. Pada akhirnya “Nayla” berhasil saya tuntaskan untuk kedua kalinya saat saya sedang menjalani hari – hari yang baru di masa-masa awal saya berada di kota Purwokerto.

Awal mula saya tertarik dengan “1 Perempuan 14 Laki-Laki” ini saat saya sedang menelusuri barisan demi barisan tulisan di akun Twitter milik Djenar yang senantiasa mengumandangkan berita tentang karya terbarunya ini. Disusul beberapa hari kemudian melalui sorot akun Twitter Djenar tentang hari peluncuran "1 Perempuan 14 Laki-Laki" yang dilakukan bertepatan dengan hari ulangtahunnya. Membuat saya teringat pada salah satu karya terbaru Kurnia Efendi, “Anak Arloji”, sekumpulan cerita pendek yang ditulis oleh Kef untuk merayakan ulangtahunnya yang ke-50. Ulangtahun menjadi momen yang menarik untuk dijadikan sebagai batu loncatan publikasi karya terbaru. Pertama kali melihat buku ini di gerai Gramedia kota Purwokerto, entah kenapa saya berlaku cuek dan hanya berjalan melintas lewat tanpa menoleh ke arah buku ini sama sekali. Hanya melirik sekilas. Memegang dan menimang sejenak. Membaca sampul belakang sekelebat. Tak ada niat untuk membeli. Sebab pada saat itu ada buku lain yang sedang menjadi incaran saya untuk segera dimiliki. Beberapa hari kemudian, saya tak lagi melihat buku ini bertengger di rak manapun dalam Gramedia Purwokerto. Anehnya saya pun tidak khawatir sama sekali. Saya hanya berpikir jika memang berjodoh dengan buku ini, maka saya akan mendapatkan buku ini tak lama lagi. Dan itulah yang terjadi.

Bungkusan plastik yang menutup erat buku ini segera saya sobek dan bukunya langsung saya baca. Gambar di sampul depannya mengingatkan saya akan dua hal. Yang pertama mengingatkan saya pada sebuah alat yang disebut Tonometri Schiotz, adalah alat yang digunakan untuk pengukuran tekanan bola mata, deteksi adakah glaukoma atau tidak pada bola mata seseorang. Yang kedua membuat imaji saya berputar kepada area intim kewanitaan, Miss V. Teman yang hidup di sebelah kamar saya hanya mengerutkan keningnya saat dia membaca judul di sampul depan. “Tentang pelacuran?” Saya tertegun. Bukan. Kata saya. Ini adalah karya terbaru dari seorang penulis perempuan yang berani melahirkan fenomena dalam dunia seni sastra. Teman saya tak bertanya lebih jauh lagi. Dia kurang menyukai aliran sastra yang sedang saya baca ini. Dia pun tak mengenal Djenar.

Hampir sama dengan waktu saya membaca “Nayla” dan momen yang sama yang saya rasakan saat saya mencoba untuk menghidupkan imajinasi dalam kepala saya tentang “Nayla”, menyelami jalan pikiran Djenar dalam pertarungannya melawan 14 laki-laki. Cerpen pertama “Kunang-Kunang Dalam Bir” medan pertempurannya dengan Agus Noor membuat saya bingung untuk mengambil pokok pemikirannya. Terkesan ngalor ngidul dan tak jelas muasal serta ujung akhir jalan ceritanya. Saya baca ulang paragraf pertama hingga tiga kali banyaknya. Mulai terkesan membuang waktu. Saya pun memutuskan dalam hati untuk segera mengambil pilihan, menuntaskan buku ini secepatnya atau tidak usah dibaca lagi sama sekali yakni sudahi saja. Waktu terus berjalan dan pekerjaan yang lain sedang menanti dengan sabar untuk segera dituntaskan. Maka saya pun menekuni kembali dengan perlahan dan pasti pada tulisan-tulisan dalam buku ini, dengan atau tanpa imajinasi sama sekali. Sekali terjang langsung menghantam habis-habisan bagai prajurit maju ke medan perang. Pembacaan dan penelurusan saya pada buku ini sempat terhenti beberapa kali, namun segera saya lanjutkan lagi agar secepatnya tuntas. Hingga di halaman 69, saya memutuskan selesai saja di situ.

Kering dan berhenti di angka 69. Hanya kata itu yang bisa saya sebutkan untuk karya terbaru Djenar bagai balon karet telah membuat saya kesulitan bernafas lantaran hasrat nafsu menggebu yang menciptakan dahaga kelelahan. Kekeringan yang saya rasakan tertoreh melalui kerinduan Djenar yang mendalam terhadap penulisan prosa fiksi yang telah membesarkan namanya tanpa disadari telah menorehkan dahaga yang dalam pada tiap tulisannya dalam tiap cerpen yang ditulisinya bersama dengan 14 lelaki terpilih. Rasa kering oleh dahaga seolah hendak dipuaskan Djenar dengan penjalinan kata bagai gadu perang dengan ke-14 lelaki pilihannya dnegan perpusaran perang kata dan rima fiksi yang semakin terasa hambar saat saya mulai memasuki halaman 69, “Nafas Dalam Balon Karet”. Adegan percintaan dan nafsu yang seperti apa yang hendak ditawarkan lagi. Saya sudah bosan. Bahkan cerpen ketiga yang ditulisinya bersama Indra Herlambang berjudul “Menyeruput Kopi Di Wajah Tampan” yang telah mendapatkan tempat dalam hati saya tak mampu lagi menahan gejolak dahaga kering yang semakin  berat saya rasakan hingga saya berteriak. SELESAI.

Senin, 07 Februari 2011

Nukilan Puisi : Telepon Ibu!

















Saat kucoba membalas pesan dari ayah dengan ingatan
Sebuah pesan lain masuk ke telepon genggamku
Pesan itu tertulis dengan jelas dan lugas
"Sedang menemani Ayah bersama bintang di langit
dan semburat semu cahaya rembulan di sebelah pohon sawo di belakang rumah.
Ayah sibuk berdua dengan telepon genggamnya
di bawah pohon sawo. Balas!"

Kulangkahkan kakiku ke luar kamar
Menuju kamar mandi
Mengambil air bersih dari bak dengan gayung
Lalu membasuh wajah dengan air dingin
Yang segera menyejukkan diriku seutuhnya
Lalu aku ingat di hari itu
Di hari aku pergi merantau
Pesan ibu yang terakhir
sebelum aku meninggalkan rumah
"Ingatlah selalu pada Tuhan
dimana pun kau berada."
Dilanjutkannya
"Berdoalah selalu untuk meminta tolong rahmat pada-Nya."

Dan sekarang kuingat lagi
Kala aku ketakutan
karena tak bisa tidur nyenyak
Ibu berpesan agar aku segera berdoa
pada Sang Khalik
Ku ambil posisi berdoa yang benar
Mulutku mulai komat-kamit rapal doa
Perlahan dan pasti hati dan pikiran
menenang kembali
Lalu aku pun jatuh tertidur pulas
Di tepi ranjang ibu

Purwokerto, 3 Februari 2011

Inspirasi dari"Pesan Dari Ayah"  dalam kumpulan puisi "Kepada Cium" buatan Joko Pinurbo dalam rangka baca puisi bersama Goodreads Indonesia di bulan Februari 2011.

Rabu, 19 Januari 2011

BUKU : The Ghostwriter

The Ghostwriter
by Robert Harris
Copyright © Robert Harris 2007
All rights reserved

SANG PENULIS BAYANGAN
Alih Bahasa : Siska Yuanita
Hak Cipta Terjemahan Indonesia: Penerbit PT. GramediaPustaka Utama, Jakarta.
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT. GramediaPustaka Utama, Jakarta, November 2008.

The Ghostwriter
Telah difilmkan dibawah asuhan sutradara Roman Polanski.

Apa yang kau ketahui tentang ghostwriter– penulis bayangan? Bukan kata yang menakutkan sebab ia bukanlah sosok tak terlihat oleh mata awam. Ia terlihat namun tak penting bagi sebagian besar orang, tapi menduduki posisi krusial bagi sebagian kecil orang. Entahlah apa yang membuatku memilih pekerjaan ini dan aku pun mulai hidup dengannya. Awalnya aku menulis demi kesenangan pribadi dan sekarang telah menjadi bagian tak terpisahkan dariku. Aku melihat ada sekelompok orang yang memiliki sisi kehidupan unik dan aku pun menulis tentang mereka dalam sebuah buku. Aku menjadi mereka dan menulis seolah mereka menulis tentang diri mereka sendiri. Dan hasilnya buku itu mengalami pencapaian luar biasa. Kisah hidup orang yang aku tulis mengalami kesuksesan sementara aku tetap tenggelam dalam kelam tak dikenal orang. Namun,aku cukup senang menjalaninya. Beberapa penerbit besar mengajakku bekerja sama dalam penulisan beragam profil orang terkenal dengan bayaran lumayan. Aku memilih beberapa saja yang menurutku menarik. Hingga suatu hari telepon dari agen pribadiku, Rick, mengabarkan ada pekerjaan yang lebih bagus bagiku. Menulis memoar seorang politikus terkenal. Aku tidak tahu harus mengiyakan atau menolak. Aku datang pada waktu yang telah ditentukan di kantor penerbit. Aku bertemu dengan orang – orang yang memiliki hubungan profesional dengan politikus itu dan mereka mengajakku bergabung dalam tim mereka untuk membuat sebuah memoar demi mendongkrak popularitas politik mantan orang nomor satu di Inggris itu. Aku mulai ragu sebab aku tak pernah menulis memoar politik. Jangan bercanda! Bagiku memoar politik seperti sebuah bom waktu dan sangat menyakitkan. Namun, uang yang ditawarkan di balik buku memoar "panas" itu sungguh menggiurkan. Aku pun perlahan melihat ada secercah tantangan untuk menjalaninya. Agenku senang saat aku menyetujui untuk menjadi penulis bayangan bagi orang itu. Sementara Kate, perempuan yang paling dekat denganku (aku tak tahu harus memanggilnya dengan sebutan apa) seakan berusaha memperingatkanku melalui kata – katanya. Aku disuruh memikirkan lagi lelucon menjadi penulis bayangan bagi orang yang sedang dikutuk seluruh dunia karena kebijakan terorismenya yang melanggar hak asasi manusia. Tak kuhiraukan Kate dan ia pun pergi dari apartemenku tanpa pernah datang lagi. Aku tak peduli. Toh agenku, Rick, telah memberikan nominal yang menggiurkan bagiku dan ia pun menjanjikan yang lebih besar setelah buku "panas" yang kutulis ini terbit.

Aku melintasi Atlantik tanpa ragu dan tiba di New York seperti orang kurang tidur dan pucat. Kurasa udara dingin bulan Desember yang membuatku begitu. Lalu aku menaiki feri yang membawaku ke sebuah pulau, Martha's Vineyard. Aku bergidik melihat ombak beriak menepuk badan kapal. Ombak yang telah menenggelamkan Mike McAra, penulis bayangan sebelumnya bagi mantan perdana menteri Inggris itu. Desas– desus mengatakan Mike adalah orang di balik layar kesuksesan bagi pria itu saat menjabat sebagai perdana menteri Inggris. Orang yang paling dekat dan setia. Dan mati dengan mengenaskan saat ditemukan terkapar di pinggir pantai pribadi di pulau yang sedang kudatangi ini. Feri mulai merapat dan aku pun bergegas turun bersama orang – orang yang ingin segera menjejakkan kaki ke pulau itu.

Aku menginap di sebuah hotel dan dijemput keesokan paginya ke sebuah villa mewah milik seorang pengusaha yang berbaik hati meminjamkannya pada Lang, sang mantan perdana menteri yang kontroversial itu dan aku menjadi bayangan baginya. Ia orang yang ramah dan hangat. Begitu pendapat pertamaku saat berjabat tangan dengannya. Dan penyuka olahraga. Istrinya seorang wanita cerdas dan anggun, namun dingin dan angkuh. Sekretaris pribadinya, Nona Bly, begitu aku memanggilnya, seorang wanita yang sigap dan cekatan.

Aku diberikan ruang pribadi dan waktu wawancara dengan Lang untuk mengolah memoar itu menjadi buku yang patut dijual untuk popularitas. Aku pun diberikan sebuah buku memoar yang sudah ditulis oleh mendiang Mike. Aku terkaget – kaget membacanya. Banyak bagian yang tak penting dan merusak keseluruhan memoar itu sehingga menjadi membosankan sebelum selesai dibaca hingga akhir halaman. Aku pun mulai bekerja keras menyelesaikan buku itu dan mencari sumber – sumber yang kuanggap penting untuk melengkapi penulisan memoar.

Tanpa sengaja aku menemukan sebuah amplop besar yang berisikan foto – foto masa lalu Lang saat dia masih menjadi mahasiswa di Cambridge. Masa – masa awal ia mulai terjun ke dunia politik. Masa– masa awal aku mulai menemukan kejanggalan demi kejanggalan di balik penulisan buku memoar ini termasuk misteri kematian Mike McAra yang sebenarnya.

Aku bingung dan kehilangan arah. Aku kembali lagi ke New York seakan berharap bisa bertemu dengan seseorang yang bisa kuajak berbicara dan diskusi mengenai semua intrik yang telah kutemukan tentang sosok Lang yang sebenarnya dan kebenaran dibalik penulisan memoarnya. Belum selesai aku memecahkan teka – teki intrik itu, Lang terkena musibah. Ia tewas dibunuh oleh seorang pemrotes. Dan aku pun kembali ke London. Kali ini agenku Rick menyuruhku untuk sesegera mungkin menyelesaikan memoar itu sebab Lang telah menjadi fenomena dari kematiannya. Ini menjadi langkah promosi yang bagus untuk penjualan buku. Sebuah pesta pun digelar untuk merayakan peluncuran buku memoar-nya sekaligus perayaan untuk mengenang kematiannya. Aku hadir di pesta itu atas ajakan Nona Bly. Penulis bayangan tak pernah hadir dalam acara peluncuran buku yang ditulisnya. Ia seolah menjadi istri simpanan di ajang pesta itu. Aku pun diberitahu oleh Nona Bly bahwa di buku pertama yang sempat ditulis oleh Mike ada teka – teki tentang permulaan – the beginnings. Bagai déjà vu, aku pun pernah diberitahu tentang hal itu. Penasaran aku membuka tiap halaman pertama di tiap bab. Kutemukan sebuah kejutan baru lagi. Dan kali ini aku merasa seperti ditampar oleh kenyataan yang ternyata begitu dekat denganku.Tanpa membuang waktu lebih lama aku pun meninggalkan pesta tanpa melihat lagi ke belakang. Tanpa peduli namaku dipanggil berulang kali oleh istri Lang dan Nona Bly. Aku membaur di tengah keramaian dan menghilang di kenyataan.

Bagiku penulis bayangan memang profesi yang cukup menyenangkan dan juga menengangkan. Aku selalu menemukan kenyataan yang lebih mengherankan dan mengejutkan seiring dengan penulisan buku yang sedang kukerjakan. Saat dihadapkan pada dua putaran jalan, antara keyakinan diri sendiri atau mengikuti yang diinginkan oleh klien seakan ada yang beradu hebat dalam hatiku. Aku tak ingin bernasib sama dengan Mike tapi aku ketakutan menghadapi kenyataan ini yang selalu mengejarku kemana pun aku pergi dan dimana pun aku berada. Kebohongan dan kepalsuan terbongkar satu per satu seiring perjalanan hari – hariku selanjutnya setelah acara pesta peluncuran buku itu. Tak bisa berkelit dan aku pun memilih melarikan diri dengan harapan bisa mengubur jauh kenyataan itu. Dunia tak akan kekurangan kehadiranku walau aku tak pernah menampakkan diri lagi.

Senin, 17 Januari 2011

Nukilan Buku : Kharisma Kepemimpinan Seorang Jefferson

Di suatu siang yang hangat, aku dan kakak sepupuku menyeberangi sebuah jalan protokol yang sibuk ketika lampu hijau pejalan kaki menyala terang. Saat itu kami baru saja makan siang bersama di sebuah restoran Italia.

Seorang wanita paruh baya yang berdiri di ujung jalan menghampiri kami yang baru saja menyeberangi jalan dan bertanya tentang sebuah alamat yang akan ditujunya yang berada di antara bangunan pencakar langit yang sering menyesatkan itu. Kemudian wanita itu mengucapkan terimakasih kepada kakak sepupuku dan setelah kami berjalan cukup jauh, aku bertanya kepadanya.

“Dari sekian banyak pejalan kaki yang berjalan ke arahnya, mengapa hanya kamu yang dipilih untuk ditanya?”

Dengan rendah hati dia menjawab, “Menurut anggapanku, di matanya ada keramahan yang kumiliki tercermin di wajahku dan dia yakin tidak akan menyesal jika telah bertanya kepadaku.”
Aku mengganggukkan kepala. Dan kami pun melanjutkan perjalanan kami.

Cerita di atas ini juga terjadi dan dialami oleh seorang Bapak paruh baya yang akan menyeberangi sungai yang dingin mengalir deras di musim dingin bersalju yang kurang bersahabat. Bapak itu hanya berdiri di tepi sungai itu dan memandanginya sambil berlindung di dalam mantel tuanya dari terpaan salju – salju yang berjatuhan dari langit.

“Apa yang harus kulakukan?” pikirnya sambil terus memandangi sungai itu tanpa tahu harus melangkah kemana. “Aku tidak dapat menyeberanginya dan juga tidak dapat berbalik…” Bapak itu semakin merapatkan mantelnya saat udara dingin berhembus memasuki balik mantelnya. Dia hanya bisa berdiri mematung sambil menahan terpaan salju – salju yang berjatuhan mengenai dirinya.
“Sungainya tidak begitu dalam, tetapi ada lapisan es yang tipis dimana – mana. Jika jatuh ke dalam sungai, aku akan mati membeku sebelum mencapai separuh jalan ke seberang.”

Hari semakin senja dan langit mulai gelap. Salju yang turun semakin deras. Hembusan angin semakin kuat. Bapak itu sadar bahwa dirinya tidak bisa menunggu lebih lama lagi di tempatnya berdiri itu, tapi dia juga tidak tahu harus berbuat apa agar bisa menyeberang ke tepian sungai di seberangnya. Bapak itu sangat lelah dan lapar. Dia merasa tenaganya sudah hampir habis.



Angin berhembus semakin kencang. Sambil berpikir apa yang harus dilakukannya, Bapak itu mendengar bunyi derap langkah kaki kuda yang semakin mendekatinya. Bapak itu menoleh ke arah suara derapan langkah kaki kuda itu. Dia merasa tidak hanya satu melainkan beberapa kuda yang ditunggangi orang sedang menuju ke arahnya. Kuda – kuda yang ditunggangi orang itu mendekat. Namun saat kuda – kuda itu melewatinya, Bapak itu hanya melihat para penunggang di atas kuda – kuda itu melintasinya sambil lalu tanpa menoleh ke arahnya dan Bapak itu pun tidak memanggil mereka untuk berhenti sama sekali. Akhirnya kuda – kuda itu beserta penunggang di atasnya menderap menyeberangi sungai dan semakin menjauhi Bapak yang masih berdiri memandangi mereka dari kejauhan.

Tak lama kemudian, datang seorang penunggang kuda lain mendekat. Sang penunggang kuda saling berpandangan dengan Bapak itu. Kemudian Bapak itu berkata kepadanya.
“Tuan, apakah Anda bersedia menolong laki – laki tua ini menyeberangi sungai?”
Penunggang kuda itu masih menatap Bapak itu dengan tatapan mata yang ramah. Dan Bapak itu melanjutkan kata – katanya sembari penunggang itu turun dari kudanya. “Aku tidak dapat berjalan menyeberanginya.”

Penunggang kuda itu menjawab. “Tidak masalah. Saya akan menolong Anda dan membantu Anda menyeberang.” Kemudian penunggang itu menolong Bapak tersebut naik ke atas kudanya. Tak lama setelah itu mereka bersama – sama menyeberangi sungai yang dingin itu dengan kuda milik penunggang yang berhati mulia itu.

Setiba di seberang sungai Bapak itu mengucapkan terimakasih secara tulus kepada penunggang kuda yang telah memberinya tumpangan. Bapak itu ingin turun dari kuda dan bermaksud melanjutkan perjalanan ke rumahnya dengan berjalan kaki. Namun penunggang kuda itu berkata kepadanya.
“Musim dingin saat ini sangat tidak bersahabat meskipun Anda telah tiba dengan selamat dari penyeberangan itu. Aku akan mengantar Anda tiba di rumah dengan selamat.”

Bapak itu terharu akan kebaikan hati penunggang kuda itu dan berkata, “Tuhan Maha Pemurah, Anda benar – benar baik hati.” Mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Bapak itu.

“Aku sedikit khawatir karena perjalanan ke rumahku membutuhkan beberapa jam lagi.” Namun hal itu tidak menjadi masalah bagi penunggang kuda tersebut sebab dia telah berjanji akan mengantarkan Bapak itu tiba dengan selamat di rumahnya. Dan tak lama kemudian mereka tiba di depan rumah Bapak itu dengan kondisi salju hampir menutupi seluruh tubuh mereka.

“Saljunya deras sekali. Untung aku bisa bertemu dengan Anda.” Ucap Bapak itu sambil turun dari kudanya. Lanjutnya lagi. “Silahkan mampir meskipun hanya ada secangkir teh hangat.”
Penunggang kuda itu menolaknya dengan halus. “Terimakasih. Kurasa itu tidak perlu sebab aku harus segera pulang juga. Namun, ada yang ingin kutanyakan kepadamu.” Bapak itu menganggukkan kepalanya.

“Beberapa saat sebelum aku tiba, ada sekelompok orang berkuda yang melewati Anda, tetapi Anda sama sekali tidak meminta pertolongan dari mereka. Saat aku datang, Anda langsung memohon pertolongan dariku. Mengapa Anda menunggu hingga aku datang dan Anda baru meminta bantuan dariku?” Bapak itu tercengang dengan pertanyaan yang diajukan oleh penunggang kuda itu. Matanya terbelalak heran. Dan penunggang kuda itu melanjutkan kata – katanya.
“Jika saat itu aku menolak untuk menolong, Anda tidak akan punya kesempatan lagi dan akan tinggal sendirian di sana.” Bapak itu mulai menjawab.

“Aku sudah cukup lama tinggal di daerah ini. Aku yakin aku cukup mengenal dengan baik orang – orang yang ada di sini. Saat kelompok penunggang kuda itu melewatiku, aku menatap mata mereka dan aku sadar mereka sama sekali tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi padaku. Menurutku tidak ada gunanya meminta bantuan dari mereka. Dan saat Anda lewat, Anda melihat dan membalas tatapanku. Aku menangkap sorot mata Anda dan melihat ada sinar kebaikan dan belas kasih di sana. Saat itu juga aku tahu, hati Anda yang hangat dan baik akan menolongku keluar dari kesulitan ini.”
Setelah mendengar kata – kata Bapak itu, sang penunggang kuda merenung sebentar. Kemudian dia berkata kepada Bapak itu dengan rasa terimakasih.

“Terimakasih Anda telah bersedia menceritakannya kepadaku.” Sambil menarik kudanya, penunggang itu melanjutkan kata – katanya. “Aku akan berusaha untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri dan membuat kesalahan dengan mengabaikan sesama yang sedang dalam kesulitan.”

Dan setelah mengatakan itu, Thomas Jefferson, sang Presiden Amerika Serikat yang ketiga pada waktu itu, kembali berkuda dalam perjalanan pulangnya ke Gedung Putih di Washington DC.

Thomas Jefferson lahir pada tanggal 13 April 1743 dan menjadi Presiden AS terpilih yang ketiga di tahun 1801 hingga 1809. Sebelumnya beliau adalah pendamping Presiden AS kedua, John Adams, sebagai Wakil Presiden. Beliau memulai karir politiknya sebagai pengacara hukum yang membela hak-hak masyarakat Virginia dari berbagai lapisan masyarakat. Tahun 1776 beliau ikut menulis rancangan pertama Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat saat usianya baru 33 tahun. Selain itu, beliau juga mengeluarkan petisi kebebasan beragama dan disahkan oleh Kongres di tahun 1786. Pada pemilu Presiden AS di tahun 1800, beliau menjadi Presiden terpilih untuk menggantikan John Adams dan melanjutkan tugas – tugas kepresidenan dalam membangun Amerika Serikat. Tahun 1804 beliau terpilih kembali sebagai Presiden untuk masa jabatan kedua kalinya.

Tahun 1819 beliau mendirikan University of Virginia sehingga dipanggil dengan sebutan Bapak Universitas.



University of Virginia
Salah satu kutipannya yang terkenal adalah “Saya lebih memilih surat kabar tanpa pemerintahan daripada pemerintahan tanpa surat kabar”.

Beliau dijuluki sebagai Saint of Monticello yang sekular atas pengaruhnya terhadap begitu banyak orang dengan pengetahuan dalam bidang filosofi, ilmu alam, arsitektuf, pertanian, dan linguistik. Monticello adalah kawasan perhunian beserta perkebunan milik Jefferson di negara bagian Virginia. Dalam mengelola wilayah perkebunan yang luas dan rumah besar yang berarsitektur neokolonial pada masa itu, Jefferson membutuhkan 600 budak untuk mengelolanya, membuat Monticello bukan sekadar hunian tuan tanah biasa.

Thomas Jefferson meninggal dunia pada tanggal 4 Juli 1826, di hari perayaan kemerdekaan Amerika Serikat yang ke 50. Beliau meninggal beberapa jam sebelum meninggalnya John Adams, Presiden AS yang kedua. Perhunian Monticello-nya diberikan kepada Pemerintah AS sebagai sekolah bagi kaum yatim piatu untuk menjadi pejabat pemerintah.

Di nisannya yang menyerupai sebuah tugu, tertulis kalimat hasil kreasi pribadinya:

HERE WAS BURIED THOMAS JEFFERSON
AUTHOR OF THE DECLARATION OF AMERICAN INDEPENDENCE
OF THE STATUTE OF VIRGINIA FOR RELIGIOUS FREEDOM
AND FATHER OF THE UNIVERSITY OF VIRGINIA

BORN APRIL 2 1743 O.S.
DIED JULY 4 1826

Sabtu, 15 Januari 2011

Nukilan Buku : Lincoln, Sosok Pemimpin Yang Selalu Melayani Rakyat

Cerita ini berawal pada masa Perang Saudara yang terjadi di Amerika Serikat yang berlangsung pada tahun 1861–1865.

Di suatu hari yang kelam di masa Perang Saudara itu, Presiden Abraham Lincoln mengunjungi salah satu barak militer yang merawat prajurit-prajurit yang terluka saat perang. Beliau menghampiri salah satu prajurit yang terluka cukup parah hingga kesulitan untuk bernafas. Sambil mengamati kondisi prajurit yang kesusahan itu, Presiden Lincoln bertanya padanya,

“Adakah yang bisa kubantu untukmu?”

Dengan nafas yang terputus – putus, prajurit itu berkata kepada Presiden Lincoln sambil menahan rasa sakit dengan mata terpejam.

“Maukah Anda….hhhh….menuliskan….surat….hhh….untuk ibuku?”

Presiden Lincoln menyanggupinya dan mengambil sehelai kertas beserta bolpoin miliknya, lalu menuliskan surat yang diminta oleh prajurit sekarat itu yang dengan nafas terputus – putus mendiktekan kepada Presiden Lincoln surat yang ingin dia kirimkan kepada ibunya.

“Ibu Sayang,
Aku terluka sangat parah ketika aku sedang mengabdi kepada negara.
Tampaknya aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama.
Jangan sedih bahwa aku akan mendahuluimu.
Sampaikan ciumku pada John dan Mary dariku.
Aku akan berdoa, Tuhan akan memberkati kita.”

Setelah selesai mendiktekan isi suratnya kepada Presiden Lincoln, prajurit itu terbatuk – batuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Prajurit itu meminta kepada Lincoln untuk memberikan surat yang telah selesai ditulis kepadanya untuk melihat apakah isi suratnya sudah sesuai dengan keinginannya.
Saat mencapai akhir dari pembacaan surat yang telah ditulis oleh Presiden Lincoln, prajurit itu tercengang dengan kata – kata yang tertulis di catatan akhir surat itu sebagai berikut,

“PS: Surat ini didiktekan oleh anakmu kepada Abraham Lincoln.”

Prajurit itu semakin tidak percaya dengan apa yang dibacanya dan bertanya kepada Presiden Lincoln yang masih berdiri di samping tempat tidurnya, memandangnya dengan tatapan mata yang lembut.

“Apakah…hhh…. Anda benar – benar…..hhhhh…… Presiden Abraham Lincoln?”

Prajurit itu semakin sulit berbicara karena kesulitan bernafas dan bertambah sekarat. Presiden Lincoln menganggukkan kepalanya dan bertanya lagi kepada prajurit itu.

“Ada lagi yang bisa kubantu?”

Prajurit itu mengulurkan tangan kanannya yang bergetar karena menahan rasa sakit yang mendalam dan meminta kepada Presiden Lincoln untuk memegang tangannya yang terulur itu sambil berkata.

“Pak Presiden, hhh…. jika Anda mau melakukannya, …..rasanya aku dapat pergi dengan tenang.”

Hingga beberapa saat kemudian, prajurit itu membuka matanya kembali dan melihat bahwa Presiden Lincoln masih memegangi tangannya tanpa dilepas sekalipun. Prajurit itu lalu berkata.

“Anda pastilah sangat sibuk, Pak Presiden. ….hhhh…. Sekarang Anda sudah boleh melepaskan tanganku.”

Kemudian Presiden Lincoln berkata dengan wibawa dan lembut kepada prajurit itu.

“Kau adalah seorang prajurit yang baik. Putra bangsa Amerika Serikat yang terbaik. Betapapun sibuknya aku sebagai seorang Presiden, aku wajib mendampingi warga negara kami seperti kau ini. Itulah alasannya mengapa ada seorang presiden di negara ini.”

Setelah mendengar perkataan Presiden Lincoln, prajurit itu terharu dan meneteskan air matanya. Dan setelah itu prajurit itu meninggalkan dunia fana ini dengan damai.

 Abraham Lincoln terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke 16 dan memenangi pemillu sekali lagi sebagai Presiden AS yang ke 17. Dia terkenal sebagai Presiden yang menghargai setiap hak – hak hidup manusia. Dia adalah Presiden AS yang pertama yang menghapuskan perbudakan dan mensetarakan kedudukan antara orang – orang berkulit putih dengan orang – orang yang berkulit hitam. Inilah yang memicu terjadinya Perang Saudara di Amerika Serikat yang berlangsung dari tahun 1861–1865.

Abraham Lincoln tidak pernah bisa menyelesaikan sekolah dengan baik. Dia berhenti bersekolah pada kelas 9 dan membutuhkan waktu hingga 17 tahun untuk berhasil melunasi semua hutangnya akibat bisnisnya yang bangkrut. Sebelum menjadi Presiden AS, dia pernah mencoba untuk ikut pemilihan anggota Kongres tetapi gagal, begitu juga dengan keikutsertaannya dalam pemilihan Senator dan Wakil Presiden yang juga berujung pada kegagalan. Dia tetap tabah menghadapi semua kegagalannya itu hingga pemilihan Presiden dimenanginya dan membawanya ke Gedung Putih sebagai Presiden AS yang ke 16 sesudah James Buchanan, sebelum Ulysses S. Grant. Beliau sanggup menghadapi berbagai serangan terhadap dirinya terutama Perang Saudara (1861–1865) yang berhasil dimenangi oleh pihaknya, Pihak Utara, dan berhasil menghapuskan jurang pemisahan antara golongan masyarakat kulit hitam (budak) dan kulit putih.

Pada tanggal 14 April 1865 Presiden Abraham Lincoln tewas ditembak oleh John Wilkes Booth, simpatisan Pihak Selatan yang kalah dalam Perang Saudara. Saat itu Presiden Lincoln sedang menghadiri acara pementasan “Our American Cousin” di Ford’s Theatre dengan isti dan dua orang tamunya di atas balkon penonton kehormatan. Hingga sekarang beliau tetap menjadi Presiden yang sangat dihormati oleh rakyat AS.
Selain pidatonya, Abraham Lincoln juga terkenal dengan kutipan – kutipannya seperti:
-“Jika tidak ingin diperbudak, janganlah memperbudak orang lain.”
-“Teman terbaikku adalah siapapun yang memberiku buku untuk kubaca.”
-“Jika kita ingin memenangkan hati seseorang, pertama – tama yakinkan dia terlebih dahulu bahwa kita tulus berteman dengannya.”
-“Aku mencabuti rumput liar dan menanam bunga di tempatnya akan bertumbuh.”
-“Aku tidak tahu siapa kakekkku. Aku lebih peduli untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada cucu–cucunya.”
-“Yang terbaik tentang masa depan adalah datangnya dari hari ke hari.”