Aksara Bea in Wonderland

My Wonderland of Words

This is the other side of me in "aksara" a.k.a "letters" with my own way, my own Wonderland, Aksara Bea

Rabu, 19 Januari 2011

BUKU : The Ghostwriter

The Ghostwriter
by Robert Harris
Copyright © Robert Harris 2007
All rights reserved

SANG PENULIS BAYANGAN
Alih Bahasa : Siska Yuanita
Hak Cipta Terjemahan Indonesia: Penerbit PT. GramediaPustaka Utama, Jakarta.
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT. GramediaPustaka Utama, Jakarta, November 2008.

The Ghostwriter
Telah difilmkan dibawah asuhan sutradara Roman Polanski.

Apa yang kau ketahui tentang ghostwriter– penulis bayangan? Bukan kata yang menakutkan sebab ia bukanlah sosok tak terlihat oleh mata awam. Ia terlihat namun tak penting bagi sebagian besar orang, tapi menduduki posisi krusial bagi sebagian kecil orang. Entahlah apa yang membuatku memilih pekerjaan ini dan aku pun mulai hidup dengannya. Awalnya aku menulis demi kesenangan pribadi dan sekarang telah menjadi bagian tak terpisahkan dariku. Aku melihat ada sekelompok orang yang memiliki sisi kehidupan unik dan aku pun menulis tentang mereka dalam sebuah buku. Aku menjadi mereka dan menulis seolah mereka menulis tentang diri mereka sendiri. Dan hasilnya buku itu mengalami pencapaian luar biasa. Kisah hidup orang yang aku tulis mengalami kesuksesan sementara aku tetap tenggelam dalam kelam tak dikenal orang. Namun,aku cukup senang menjalaninya. Beberapa penerbit besar mengajakku bekerja sama dalam penulisan beragam profil orang terkenal dengan bayaran lumayan. Aku memilih beberapa saja yang menurutku menarik. Hingga suatu hari telepon dari agen pribadiku, Rick, mengabarkan ada pekerjaan yang lebih bagus bagiku. Menulis memoar seorang politikus terkenal. Aku tidak tahu harus mengiyakan atau menolak. Aku datang pada waktu yang telah ditentukan di kantor penerbit. Aku bertemu dengan orang – orang yang memiliki hubungan profesional dengan politikus itu dan mereka mengajakku bergabung dalam tim mereka untuk membuat sebuah memoar demi mendongkrak popularitas politik mantan orang nomor satu di Inggris itu. Aku mulai ragu sebab aku tak pernah menulis memoar politik. Jangan bercanda! Bagiku memoar politik seperti sebuah bom waktu dan sangat menyakitkan. Namun, uang yang ditawarkan di balik buku memoar "panas" itu sungguh menggiurkan. Aku pun perlahan melihat ada secercah tantangan untuk menjalaninya. Agenku senang saat aku menyetujui untuk menjadi penulis bayangan bagi orang itu. Sementara Kate, perempuan yang paling dekat denganku (aku tak tahu harus memanggilnya dengan sebutan apa) seakan berusaha memperingatkanku melalui kata – katanya. Aku disuruh memikirkan lagi lelucon menjadi penulis bayangan bagi orang yang sedang dikutuk seluruh dunia karena kebijakan terorismenya yang melanggar hak asasi manusia. Tak kuhiraukan Kate dan ia pun pergi dari apartemenku tanpa pernah datang lagi. Aku tak peduli. Toh agenku, Rick, telah memberikan nominal yang menggiurkan bagiku dan ia pun menjanjikan yang lebih besar setelah buku "panas" yang kutulis ini terbit.

Aku melintasi Atlantik tanpa ragu dan tiba di New York seperti orang kurang tidur dan pucat. Kurasa udara dingin bulan Desember yang membuatku begitu. Lalu aku menaiki feri yang membawaku ke sebuah pulau, Martha's Vineyard. Aku bergidik melihat ombak beriak menepuk badan kapal. Ombak yang telah menenggelamkan Mike McAra, penulis bayangan sebelumnya bagi mantan perdana menteri Inggris itu. Desas– desus mengatakan Mike adalah orang di balik layar kesuksesan bagi pria itu saat menjabat sebagai perdana menteri Inggris. Orang yang paling dekat dan setia. Dan mati dengan mengenaskan saat ditemukan terkapar di pinggir pantai pribadi di pulau yang sedang kudatangi ini. Feri mulai merapat dan aku pun bergegas turun bersama orang – orang yang ingin segera menjejakkan kaki ke pulau itu.

Aku menginap di sebuah hotel dan dijemput keesokan paginya ke sebuah villa mewah milik seorang pengusaha yang berbaik hati meminjamkannya pada Lang, sang mantan perdana menteri yang kontroversial itu dan aku menjadi bayangan baginya. Ia orang yang ramah dan hangat. Begitu pendapat pertamaku saat berjabat tangan dengannya. Dan penyuka olahraga. Istrinya seorang wanita cerdas dan anggun, namun dingin dan angkuh. Sekretaris pribadinya, Nona Bly, begitu aku memanggilnya, seorang wanita yang sigap dan cekatan.

Aku diberikan ruang pribadi dan waktu wawancara dengan Lang untuk mengolah memoar itu menjadi buku yang patut dijual untuk popularitas. Aku pun diberikan sebuah buku memoar yang sudah ditulis oleh mendiang Mike. Aku terkaget – kaget membacanya. Banyak bagian yang tak penting dan merusak keseluruhan memoar itu sehingga menjadi membosankan sebelum selesai dibaca hingga akhir halaman. Aku pun mulai bekerja keras menyelesaikan buku itu dan mencari sumber – sumber yang kuanggap penting untuk melengkapi penulisan memoar.

Tanpa sengaja aku menemukan sebuah amplop besar yang berisikan foto – foto masa lalu Lang saat dia masih menjadi mahasiswa di Cambridge. Masa – masa awal ia mulai terjun ke dunia politik. Masa– masa awal aku mulai menemukan kejanggalan demi kejanggalan di balik penulisan buku memoar ini termasuk misteri kematian Mike McAra yang sebenarnya.

Aku bingung dan kehilangan arah. Aku kembali lagi ke New York seakan berharap bisa bertemu dengan seseorang yang bisa kuajak berbicara dan diskusi mengenai semua intrik yang telah kutemukan tentang sosok Lang yang sebenarnya dan kebenaran dibalik penulisan memoarnya. Belum selesai aku memecahkan teka – teki intrik itu, Lang terkena musibah. Ia tewas dibunuh oleh seorang pemrotes. Dan aku pun kembali ke London. Kali ini agenku Rick menyuruhku untuk sesegera mungkin menyelesaikan memoar itu sebab Lang telah menjadi fenomena dari kematiannya. Ini menjadi langkah promosi yang bagus untuk penjualan buku. Sebuah pesta pun digelar untuk merayakan peluncuran buku memoar-nya sekaligus perayaan untuk mengenang kematiannya. Aku hadir di pesta itu atas ajakan Nona Bly. Penulis bayangan tak pernah hadir dalam acara peluncuran buku yang ditulisnya. Ia seolah menjadi istri simpanan di ajang pesta itu. Aku pun diberitahu oleh Nona Bly bahwa di buku pertama yang sempat ditulis oleh Mike ada teka – teki tentang permulaan – the beginnings. Bagai déjà vu, aku pun pernah diberitahu tentang hal itu. Penasaran aku membuka tiap halaman pertama di tiap bab. Kutemukan sebuah kejutan baru lagi. Dan kali ini aku merasa seperti ditampar oleh kenyataan yang ternyata begitu dekat denganku.Tanpa membuang waktu lebih lama aku pun meninggalkan pesta tanpa melihat lagi ke belakang. Tanpa peduli namaku dipanggil berulang kali oleh istri Lang dan Nona Bly. Aku membaur di tengah keramaian dan menghilang di kenyataan.

Bagiku penulis bayangan memang profesi yang cukup menyenangkan dan juga menengangkan. Aku selalu menemukan kenyataan yang lebih mengherankan dan mengejutkan seiring dengan penulisan buku yang sedang kukerjakan. Saat dihadapkan pada dua putaran jalan, antara keyakinan diri sendiri atau mengikuti yang diinginkan oleh klien seakan ada yang beradu hebat dalam hatiku. Aku tak ingin bernasib sama dengan Mike tapi aku ketakutan menghadapi kenyataan ini yang selalu mengejarku kemana pun aku pergi dan dimana pun aku berada. Kebohongan dan kepalsuan terbongkar satu per satu seiring perjalanan hari – hariku selanjutnya setelah acara pesta peluncuran buku itu. Tak bisa berkelit dan aku pun memilih melarikan diri dengan harapan bisa mengubur jauh kenyataan itu. Dunia tak akan kekurangan kehadiranku walau aku tak pernah menampakkan diri lagi.

Senin, 17 Januari 2011

Nukilan Buku : Kharisma Kepemimpinan Seorang Jefferson

Di suatu siang yang hangat, aku dan kakak sepupuku menyeberangi sebuah jalan protokol yang sibuk ketika lampu hijau pejalan kaki menyala terang. Saat itu kami baru saja makan siang bersama di sebuah restoran Italia.

Seorang wanita paruh baya yang berdiri di ujung jalan menghampiri kami yang baru saja menyeberangi jalan dan bertanya tentang sebuah alamat yang akan ditujunya yang berada di antara bangunan pencakar langit yang sering menyesatkan itu. Kemudian wanita itu mengucapkan terimakasih kepada kakak sepupuku dan setelah kami berjalan cukup jauh, aku bertanya kepadanya.

“Dari sekian banyak pejalan kaki yang berjalan ke arahnya, mengapa hanya kamu yang dipilih untuk ditanya?”

Dengan rendah hati dia menjawab, “Menurut anggapanku, di matanya ada keramahan yang kumiliki tercermin di wajahku dan dia yakin tidak akan menyesal jika telah bertanya kepadaku.”
Aku mengganggukkan kepala. Dan kami pun melanjutkan perjalanan kami.

Cerita di atas ini juga terjadi dan dialami oleh seorang Bapak paruh baya yang akan menyeberangi sungai yang dingin mengalir deras di musim dingin bersalju yang kurang bersahabat. Bapak itu hanya berdiri di tepi sungai itu dan memandanginya sambil berlindung di dalam mantel tuanya dari terpaan salju – salju yang berjatuhan dari langit.

“Apa yang harus kulakukan?” pikirnya sambil terus memandangi sungai itu tanpa tahu harus melangkah kemana. “Aku tidak dapat menyeberanginya dan juga tidak dapat berbalik…” Bapak itu semakin merapatkan mantelnya saat udara dingin berhembus memasuki balik mantelnya. Dia hanya bisa berdiri mematung sambil menahan terpaan salju – salju yang berjatuhan mengenai dirinya.
“Sungainya tidak begitu dalam, tetapi ada lapisan es yang tipis dimana – mana. Jika jatuh ke dalam sungai, aku akan mati membeku sebelum mencapai separuh jalan ke seberang.”

Hari semakin senja dan langit mulai gelap. Salju yang turun semakin deras. Hembusan angin semakin kuat. Bapak itu sadar bahwa dirinya tidak bisa menunggu lebih lama lagi di tempatnya berdiri itu, tapi dia juga tidak tahu harus berbuat apa agar bisa menyeberang ke tepian sungai di seberangnya. Bapak itu sangat lelah dan lapar. Dia merasa tenaganya sudah hampir habis.



Angin berhembus semakin kencang. Sambil berpikir apa yang harus dilakukannya, Bapak itu mendengar bunyi derap langkah kaki kuda yang semakin mendekatinya. Bapak itu menoleh ke arah suara derapan langkah kaki kuda itu. Dia merasa tidak hanya satu melainkan beberapa kuda yang ditunggangi orang sedang menuju ke arahnya. Kuda – kuda yang ditunggangi orang itu mendekat. Namun saat kuda – kuda itu melewatinya, Bapak itu hanya melihat para penunggang di atas kuda – kuda itu melintasinya sambil lalu tanpa menoleh ke arahnya dan Bapak itu pun tidak memanggil mereka untuk berhenti sama sekali. Akhirnya kuda – kuda itu beserta penunggang di atasnya menderap menyeberangi sungai dan semakin menjauhi Bapak yang masih berdiri memandangi mereka dari kejauhan.

Tak lama kemudian, datang seorang penunggang kuda lain mendekat. Sang penunggang kuda saling berpandangan dengan Bapak itu. Kemudian Bapak itu berkata kepadanya.
“Tuan, apakah Anda bersedia menolong laki – laki tua ini menyeberangi sungai?”
Penunggang kuda itu masih menatap Bapak itu dengan tatapan mata yang ramah. Dan Bapak itu melanjutkan kata – katanya sembari penunggang itu turun dari kudanya. “Aku tidak dapat berjalan menyeberanginya.”

Penunggang kuda itu menjawab. “Tidak masalah. Saya akan menolong Anda dan membantu Anda menyeberang.” Kemudian penunggang itu menolong Bapak tersebut naik ke atas kudanya. Tak lama setelah itu mereka bersama – sama menyeberangi sungai yang dingin itu dengan kuda milik penunggang yang berhati mulia itu.

Setiba di seberang sungai Bapak itu mengucapkan terimakasih secara tulus kepada penunggang kuda yang telah memberinya tumpangan. Bapak itu ingin turun dari kuda dan bermaksud melanjutkan perjalanan ke rumahnya dengan berjalan kaki. Namun penunggang kuda itu berkata kepadanya.
“Musim dingin saat ini sangat tidak bersahabat meskipun Anda telah tiba dengan selamat dari penyeberangan itu. Aku akan mengantar Anda tiba di rumah dengan selamat.”

Bapak itu terharu akan kebaikan hati penunggang kuda itu dan berkata, “Tuhan Maha Pemurah, Anda benar – benar baik hati.” Mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Bapak itu.

“Aku sedikit khawatir karena perjalanan ke rumahku membutuhkan beberapa jam lagi.” Namun hal itu tidak menjadi masalah bagi penunggang kuda tersebut sebab dia telah berjanji akan mengantarkan Bapak itu tiba dengan selamat di rumahnya. Dan tak lama kemudian mereka tiba di depan rumah Bapak itu dengan kondisi salju hampir menutupi seluruh tubuh mereka.

“Saljunya deras sekali. Untung aku bisa bertemu dengan Anda.” Ucap Bapak itu sambil turun dari kudanya. Lanjutnya lagi. “Silahkan mampir meskipun hanya ada secangkir teh hangat.”
Penunggang kuda itu menolaknya dengan halus. “Terimakasih. Kurasa itu tidak perlu sebab aku harus segera pulang juga. Namun, ada yang ingin kutanyakan kepadamu.” Bapak itu menganggukkan kepalanya.

“Beberapa saat sebelum aku tiba, ada sekelompok orang berkuda yang melewati Anda, tetapi Anda sama sekali tidak meminta pertolongan dari mereka. Saat aku datang, Anda langsung memohon pertolongan dariku. Mengapa Anda menunggu hingga aku datang dan Anda baru meminta bantuan dariku?” Bapak itu tercengang dengan pertanyaan yang diajukan oleh penunggang kuda itu. Matanya terbelalak heran. Dan penunggang kuda itu melanjutkan kata – katanya.
“Jika saat itu aku menolak untuk menolong, Anda tidak akan punya kesempatan lagi dan akan tinggal sendirian di sana.” Bapak itu mulai menjawab.

“Aku sudah cukup lama tinggal di daerah ini. Aku yakin aku cukup mengenal dengan baik orang – orang yang ada di sini. Saat kelompok penunggang kuda itu melewatiku, aku menatap mata mereka dan aku sadar mereka sama sekali tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi padaku. Menurutku tidak ada gunanya meminta bantuan dari mereka. Dan saat Anda lewat, Anda melihat dan membalas tatapanku. Aku menangkap sorot mata Anda dan melihat ada sinar kebaikan dan belas kasih di sana. Saat itu juga aku tahu, hati Anda yang hangat dan baik akan menolongku keluar dari kesulitan ini.”
Setelah mendengar kata – kata Bapak itu, sang penunggang kuda merenung sebentar. Kemudian dia berkata kepada Bapak itu dengan rasa terimakasih.

“Terimakasih Anda telah bersedia menceritakannya kepadaku.” Sambil menarik kudanya, penunggang itu melanjutkan kata – katanya. “Aku akan berusaha untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri dan membuat kesalahan dengan mengabaikan sesama yang sedang dalam kesulitan.”

Dan setelah mengatakan itu, Thomas Jefferson, sang Presiden Amerika Serikat yang ketiga pada waktu itu, kembali berkuda dalam perjalanan pulangnya ke Gedung Putih di Washington DC.

Thomas Jefferson lahir pada tanggal 13 April 1743 dan menjadi Presiden AS terpilih yang ketiga di tahun 1801 hingga 1809. Sebelumnya beliau adalah pendamping Presiden AS kedua, John Adams, sebagai Wakil Presiden. Beliau memulai karir politiknya sebagai pengacara hukum yang membela hak-hak masyarakat Virginia dari berbagai lapisan masyarakat. Tahun 1776 beliau ikut menulis rancangan pertama Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat saat usianya baru 33 tahun. Selain itu, beliau juga mengeluarkan petisi kebebasan beragama dan disahkan oleh Kongres di tahun 1786. Pada pemilu Presiden AS di tahun 1800, beliau menjadi Presiden terpilih untuk menggantikan John Adams dan melanjutkan tugas – tugas kepresidenan dalam membangun Amerika Serikat. Tahun 1804 beliau terpilih kembali sebagai Presiden untuk masa jabatan kedua kalinya.

Tahun 1819 beliau mendirikan University of Virginia sehingga dipanggil dengan sebutan Bapak Universitas.



University of Virginia
Salah satu kutipannya yang terkenal adalah “Saya lebih memilih surat kabar tanpa pemerintahan daripada pemerintahan tanpa surat kabar”.

Beliau dijuluki sebagai Saint of Monticello yang sekular atas pengaruhnya terhadap begitu banyak orang dengan pengetahuan dalam bidang filosofi, ilmu alam, arsitektuf, pertanian, dan linguistik. Monticello adalah kawasan perhunian beserta perkebunan milik Jefferson di negara bagian Virginia. Dalam mengelola wilayah perkebunan yang luas dan rumah besar yang berarsitektur neokolonial pada masa itu, Jefferson membutuhkan 600 budak untuk mengelolanya, membuat Monticello bukan sekadar hunian tuan tanah biasa.

Thomas Jefferson meninggal dunia pada tanggal 4 Juli 1826, di hari perayaan kemerdekaan Amerika Serikat yang ke 50. Beliau meninggal beberapa jam sebelum meninggalnya John Adams, Presiden AS yang kedua. Perhunian Monticello-nya diberikan kepada Pemerintah AS sebagai sekolah bagi kaum yatim piatu untuk menjadi pejabat pemerintah.

Di nisannya yang menyerupai sebuah tugu, tertulis kalimat hasil kreasi pribadinya:

HERE WAS BURIED THOMAS JEFFERSON
AUTHOR OF THE DECLARATION OF AMERICAN INDEPENDENCE
OF THE STATUTE OF VIRGINIA FOR RELIGIOUS FREEDOM
AND FATHER OF THE UNIVERSITY OF VIRGINIA

BORN APRIL 2 1743 O.S.
DIED JULY 4 1826

Sabtu, 15 Januari 2011

Nukilan Buku : Lincoln, Sosok Pemimpin Yang Selalu Melayani Rakyat

Cerita ini berawal pada masa Perang Saudara yang terjadi di Amerika Serikat yang berlangsung pada tahun 1861–1865.

Di suatu hari yang kelam di masa Perang Saudara itu, Presiden Abraham Lincoln mengunjungi salah satu barak militer yang merawat prajurit-prajurit yang terluka saat perang. Beliau menghampiri salah satu prajurit yang terluka cukup parah hingga kesulitan untuk bernafas. Sambil mengamati kondisi prajurit yang kesusahan itu, Presiden Lincoln bertanya padanya,

“Adakah yang bisa kubantu untukmu?”

Dengan nafas yang terputus – putus, prajurit itu berkata kepada Presiden Lincoln sambil menahan rasa sakit dengan mata terpejam.

“Maukah Anda….hhhh….menuliskan….surat….hhh….untuk ibuku?”

Presiden Lincoln menyanggupinya dan mengambil sehelai kertas beserta bolpoin miliknya, lalu menuliskan surat yang diminta oleh prajurit sekarat itu yang dengan nafas terputus – putus mendiktekan kepada Presiden Lincoln surat yang ingin dia kirimkan kepada ibunya.

“Ibu Sayang,
Aku terluka sangat parah ketika aku sedang mengabdi kepada negara.
Tampaknya aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama.
Jangan sedih bahwa aku akan mendahuluimu.
Sampaikan ciumku pada John dan Mary dariku.
Aku akan berdoa, Tuhan akan memberkati kita.”

Setelah selesai mendiktekan isi suratnya kepada Presiden Lincoln, prajurit itu terbatuk – batuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Prajurit itu meminta kepada Lincoln untuk memberikan surat yang telah selesai ditulis kepadanya untuk melihat apakah isi suratnya sudah sesuai dengan keinginannya.
Saat mencapai akhir dari pembacaan surat yang telah ditulis oleh Presiden Lincoln, prajurit itu tercengang dengan kata – kata yang tertulis di catatan akhir surat itu sebagai berikut,

“PS: Surat ini didiktekan oleh anakmu kepada Abraham Lincoln.”

Prajurit itu semakin tidak percaya dengan apa yang dibacanya dan bertanya kepada Presiden Lincoln yang masih berdiri di samping tempat tidurnya, memandangnya dengan tatapan mata yang lembut.

“Apakah…hhh…. Anda benar – benar…..hhhhh…… Presiden Abraham Lincoln?”

Prajurit itu semakin sulit berbicara karena kesulitan bernafas dan bertambah sekarat. Presiden Lincoln menganggukkan kepalanya dan bertanya lagi kepada prajurit itu.

“Ada lagi yang bisa kubantu?”

Prajurit itu mengulurkan tangan kanannya yang bergetar karena menahan rasa sakit yang mendalam dan meminta kepada Presiden Lincoln untuk memegang tangannya yang terulur itu sambil berkata.

“Pak Presiden, hhh…. jika Anda mau melakukannya, …..rasanya aku dapat pergi dengan tenang.”

Hingga beberapa saat kemudian, prajurit itu membuka matanya kembali dan melihat bahwa Presiden Lincoln masih memegangi tangannya tanpa dilepas sekalipun. Prajurit itu lalu berkata.

“Anda pastilah sangat sibuk, Pak Presiden. ….hhhh…. Sekarang Anda sudah boleh melepaskan tanganku.”

Kemudian Presiden Lincoln berkata dengan wibawa dan lembut kepada prajurit itu.

“Kau adalah seorang prajurit yang baik. Putra bangsa Amerika Serikat yang terbaik. Betapapun sibuknya aku sebagai seorang Presiden, aku wajib mendampingi warga negara kami seperti kau ini. Itulah alasannya mengapa ada seorang presiden di negara ini.”

Setelah mendengar perkataan Presiden Lincoln, prajurit itu terharu dan meneteskan air matanya. Dan setelah itu prajurit itu meninggalkan dunia fana ini dengan damai.

 Abraham Lincoln terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke 16 dan memenangi pemillu sekali lagi sebagai Presiden AS yang ke 17. Dia terkenal sebagai Presiden yang menghargai setiap hak – hak hidup manusia. Dia adalah Presiden AS yang pertama yang menghapuskan perbudakan dan mensetarakan kedudukan antara orang – orang berkulit putih dengan orang – orang yang berkulit hitam. Inilah yang memicu terjadinya Perang Saudara di Amerika Serikat yang berlangsung dari tahun 1861–1865.

Abraham Lincoln tidak pernah bisa menyelesaikan sekolah dengan baik. Dia berhenti bersekolah pada kelas 9 dan membutuhkan waktu hingga 17 tahun untuk berhasil melunasi semua hutangnya akibat bisnisnya yang bangkrut. Sebelum menjadi Presiden AS, dia pernah mencoba untuk ikut pemilihan anggota Kongres tetapi gagal, begitu juga dengan keikutsertaannya dalam pemilihan Senator dan Wakil Presiden yang juga berujung pada kegagalan. Dia tetap tabah menghadapi semua kegagalannya itu hingga pemilihan Presiden dimenanginya dan membawanya ke Gedung Putih sebagai Presiden AS yang ke 16 sesudah James Buchanan, sebelum Ulysses S. Grant. Beliau sanggup menghadapi berbagai serangan terhadap dirinya terutama Perang Saudara (1861–1865) yang berhasil dimenangi oleh pihaknya, Pihak Utara, dan berhasil menghapuskan jurang pemisahan antara golongan masyarakat kulit hitam (budak) dan kulit putih.

Pada tanggal 14 April 1865 Presiden Abraham Lincoln tewas ditembak oleh John Wilkes Booth, simpatisan Pihak Selatan yang kalah dalam Perang Saudara. Saat itu Presiden Lincoln sedang menghadiri acara pementasan “Our American Cousin” di Ford’s Theatre dengan isti dan dua orang tamunya di atas balkon penonton kehormatan. Hingga sekarang beliau tetap menjadi Presiden yang sangat dihormati oleh rakyat AS.
Selain pidatonya, Abraham Lincoln juga terkenal dengan kutipan – kutipannya seperti:
-“Jika tidak ingin diperbudak, janganlah memperbudak orang lain.”
-“Teman terbaikku adalah siapapun yang memberiku buku untuk kubaca.”
-“Jika kita ingin memenangkan hati seseorang, pertama – tama yakinkan dia terlebih dahulu bahwa kita tulus berteman dengannya.”
-“Aku mencabuti rumput liar dan menanam bunga di tempatnya akan bertumbuh.”
-“Aku tidak tahu siapa kakekkku. Aku lebih peduli untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada cucu–cucunya.”
-“Yang terbaik tentang masa depan adalah datangnya dari hari ke hari.”

BUKU : The Great Gatsby


Judul Buku : The Great Gatsby
Penulis : F. Scott Fitzgerald
Penerjemah: Sri Noor Verawaty
Penerbit: PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan Pertama: Oktober 2010

Buku ini adalah hadiah yang kedua kalinya saya menang dari kuis. Senang, sudah pasti, karena  dapat hadiah dari peri buku. Sedih, sudah tentu, karena harus mengorek waktu tambahan untuk membacanya. Tidak seperti buku pertama yang saya menangkan, buku kedua ini langsung saya baca hingga tuntas dan dibuat ulasannya, lalu setelahnya kebingungan karena tak ada lagi bacaan sampingan yang menyenangkan disamping buku-buku rutin yang harus saya baca dan pelajari tiap hari tanpa bosan. Maka dari itu saya pun berusaha mendekati peri buku lagi untuk mendapatkan bacaan-bacaan menarik berikutnya. *tersenyum dan tertawa*

Jay Gatsby, entah nama asli atau nama samaran atau nama yang telah diganti untuk kepentingan tertentu, adalah seorang lelaki kaya raya yang tinggal di sebuah mansion mewah di tepi teluk kawasan West Egg yang indah dan sunyi. Tak seorang pun yang tinggal di daerah itu mengenalnya dengan baik dan mengetahui asal – usul keluarganya. Yang diketahui oleh orang – orang yang mengenal namanya saja adalah pesta – pesta mewah yang selalu diselenggarakannya di tiap Sabtu malam dengan dansa, cerutu dan sampanye melimpah. Ia adalah sosok yang ramah, namun terkesan tertutup. Tak ada yang peduli dengan apa yang ia pikirkan dan rasakan. Orang – orang yang hadir di pestanya merasa sudah cukup hanya mengenal namanya saja seolah itu adalah tiket masuk pesta gemerlap yang diselenggarakannya. Maka tak heran jika segelintir orang pun mulai mengumbarkan cerita – cerita negatif tentang dirinya dan pesta yang diadakannya di tiap hari Sabtu.

Hingga suatu hari, Gatsby, begitu panggilan nama keluarganya, mengirimkan sebuah undangan pesta yang diadakannya di hari Sabtu berikutnya secara resmi kepada Nicholas Carraway, tetangganya yang tinggal di sebuah rumah sederhana dengan halaman rumput tak terawat. Nick pun senang karena merasa sebagai tamu terhormat bagi Gatsby. Sebuah undangan pesta yang membawa Nick melihat sisi lain dari kehidupan kalangan sosial atas. Sebuah undangan pesta yang perlahan mulai mengubah sejarah hidup Nick selanjutnya. Di pesta itu pun Nick bertemu dengan perempuan yang luar biasa dan juga misterius yang kelak menjadi kekasihnya, Jordan Baker. Dan dari Jordan pula Nick akhirnya mengetahui secara gamblang hubungan Gatsby dengan sepupunya, Daisy, di masa lalu serta retaknya rumah tangga Daisy dan Tom karena faktor perselingkuhan.

Nick adalah tokoh dilematis. Ia diciptakan oleh Fitzgerald, selain sebagai narator cerita, juga untuk menjadi saksi atas sebuah hubungan yang penuh intrik dan pengkhianatan sehingga ia sendiri pun mengalami kegagalan dalam urusan percintaannya sendiri. Di akhir kisah, kekasihnya – Jordan –  bertunangan dengan pria lain. Gatsby merancang sebuah kejadian koheren untuk bertemu kembali dengan Daisy, sepupu Nick, melalui tangan Nick secara tidak langsung. Sebagai seorang lelaki dewasa, sudah seharusnya Nick dapat mengetahui arah dan maksud tertentu yang akan terjadi jika Daisy bertemu kembali dengan kekasih lamanya. Namun, Nick seolah dibuat tak berdaya dan merasa kasihan pada Gatsby hingga membiarkan kejadian itu terjadi, yang seharusnya bisa dicegah pada awalnya. Nick juga harus senantiasa meredam amarahnya terhadap kebohongan – kebohongan yang diutarakan oleh Gatsby. Selain itu, Nick pun seolah dibuat secara tak kasatmata layaknya malaikat saat ia menemani Tom, suami Daisy, bertemu Myrtle Wilson, selingkuhan Tom yang telah bersuami, di sebuah bengkel pinggir jalan yang penuh debu hingga flat yang dibelikan Tom secara pribadi untuk Myrtle.

Tokoh Nick yang seperti menuliskan buku harian dalam latar penceritaan kisah di buku ini seperti Fitzgerald asli yang sedang berusaha menuang semua pola pikir akan pandangannya terhadap masa hidupnya di waktu itu dalam buku ini. Ia menyayangkan kehidupan manusia yang keluar dari alur semestinya setelah melewati masa penderitaan perang. Ia menjadikan Nick, wujud fantasinya, sebagai orang yang mengutarakan isi hatinya untuk disebarkan kepada dunia luar agar orang – orang di luar sana mengetahui isi pikirannya. Sebuah pilihan yang cerdas.

Gambaran perselingkuhan dan aroganisme dalam tokoh Daisy dan Tom yang dideskripsikan Fitzgerald pun tampak sekali adanya kejenuhan terhadap kehidupan sosial kalangan atas yang monoton pada masa itu. Kedua tokoh ini mencari pelarian fantasi dengan menghalalkan berbagai cara hingga menyakiti orang – orang disekitar mereka. Hingga pada akhir cerita tak ada satu pun tokoh yang digambarkan memiliki akhir kisah yang indah dan berbunga. Akhir cerita yang mendeskripsikan secara nyata keadaan kehidupan di tahun 1920-an pasca Perang Dunia I yang penuh dengan intrik dan pelanggaran terhadap tatanan pola sosial masyarakat yang sarat akan kejenuhan dalam rupa keserakahan, sarkasme, dan hasrat akan kesenangan terhadap duniawi.

Saya tidak tahu citra seperti apa yang hendak dibangun oleh Fitzgerald terhadap tokoh Gatsby hingga memberi judul bukunya The Great Gatsby. Apa yang hebat dari Gatsby disamping kekayaan yang diperolehnya melalui cara yang kurang terpuji atau karena akhir hidupnya yang sangat singkat dan diakhiri dengan cepat secara tragis. Saya merasa adanya ketidakcocokan antara tokoh Gatsby yang dianggap menjadi sentral dalam cerita ini dengan judul The Great Gatsby pada buku ini.

Beberapa baris kalimat yang saya sukai dari buku ini:
  • Setiap kali kamu ingin mengkritik seseorang, ingatlah bahwa semua orang di dunia ini tidak memiliki kelebihan seperti yang kamu miliki. (hal.7)
  • Dia menyalakan rokok Daisy dari geretan yang gemetaran (hal.147) Ritual ini menandakan dengan jelas era masa itu dimana kaum perempuan tak lagi malu – malu menunjukkan sisi maskulinitas seperti merokok secara bebas layaknya kaum pria. Bahkan seorang perempuan dewasa yang telah mencicipi rokok dianggap berkelas.
  • Esok kita akan berlari lebih cepat, merentangkan tangan lebih lebar (hal.276)
  • Kita terus bergerak, maju melawan arus, pantang surut ke masa lalu. (hal.276)
Pesan yang tersirat dari buku ini membuatku teringat akan pesan Ratna Sarumpaet kepada putrinya, Atiqah Hasiholan, yakni: “Jangan pernah jatuh cinta pada suami orang.”